Profesi
pekerjaan sosial termasuk salah satu profesi pertolongan yang paling tua di
antara profesi-profesi lainnya. Pekerjaan sosial berusaha mengembalikan
keberfungsian klien melalui berbagai macam cara. Umumnya, cara-cara tersebut
dilandasi oleh nilai-nilai tertentu yang tujuannya mempromosikan keadilan
sosial dan kesetaraan universal. Keberfungsian klien sendiri bukanlah satu hal
yang mudah dinilai meski terdapat sederet indicator yang lazim digunakan
pekerja sosial untuk urusan ini. Keberfungsian dalam kaitannya dengan relasi
pertolongan lebih pelik dari yang dibayangkan para pekerja sosial selama ini.
Berfungsi tidak hanya menyangkut peran dan fungsi individu dalam lingkungan
sosial mereka. Lebih jauh, perbincangan mengenai keberfungsian menyangkut
kualitas keseluruhan dari individu dilihat dari manfaat yang diberikannya bagi
masyarakat atau lingkungan sosialnya.
Memahami
dinamika keberfungsian klien, dengan begitu, tidak dapat dilepaskan dari upaya
memahami klien tersebut secara menyeluruh, mencakup kebudayaan, nilai-nilai
yang dianut dan harapan-harapan interpersonalnya. Apa yang ditunjukkan dan
disampaikan klien ketika berhadapan dengan pekerja sosial pada dasarnya adalah
representasi dari dimensi sosial-budaya yang membangun klien itu sendiri. Memahami
dinamikan sosial-budaya setiap klien tentu saja tidak mudah, hal ini karena
pekerja sosial menangani tidak hanya beberapa orang klien, melainkan klien
dalam jumlah yang tidak memungkinkan untuk dinilai secara interpersonal.
Klien mesti
ditempatkan dalam posisinya sebagai produk sosial lingkungan mereka. Klien
tidak mungkin berasal dari lingkungan yang bukan lingkungan manusia, karenanya,
memperhatikan aspek kemanusiaan dalam praktik pekerjaan sosial bukanlah satu
hal yang perlu diperdebatkan lebih lanjut. Sayangnya, pekerja sosial seringkali
menggunakan kacamata budaya mereka sendiri dalam memandang masalah-masalah aktual
yang dihadapi klien mereka. Jenis tindakan yang disebutkan terakhir cukup
berbahaya bagi proses mengembalikan keberfungsian klien. Klien dan pekerja
sosial, sebagai sesame produk sosial, dituntut untuk dapat mencapai titik temu
dalam memandang dan menilai situasi permasalahan. Namun, tentu saja porsi lebih
besar ditanggung oleh pekerja sosial.
Pertolongan
yang dimaksud oleh pekerja sosial bisa saja dianggap bukan sebagai bentuk
pertolongan oleh klien mereka. Jika klien tidak segera mengungkapkan hal tersebut,
bukan berarti bahwa klien setuju dengan bentuk pertolongan yang diberikan oleh
pekerja sosial. Sangat mungkin bila pilihan klien untuk tidak mengungkapkan hal
tersebut dipengaruhi corak dari bentuk pertolongan yang diberikan oleh pekerja
sosial itu sendiri, yang menyaratkan adanya sebentuk kepatuhan dari klien
mereka. Dalam perkembangannya, perangkat kepatuhan itu sendiri, yang cenderung
dipaksakan oleh pekerja sosial dengan cara-cara kurang lebih tidak sah,
dianggap sebagai suatu hal yang normal. Pada akhirnya, tingkat kepatuhan klien
dalam kaitannya dengan pemberian layanan-layanan sosial tertentu menjadi
identik dengan –dan dianggap sebagai indicator- keberhasilan dalam proses
pertolongan.
Praktik pekerjaan
sosial di masa-masa mendatang tampaknya akan sangat berbeda dengan
praktik-praktik yang kini dianggap sebagai praktik pekerjaan sosial yang ideal.
Di masa depan, resiko dan ketidakpastian yang diproduksi secara berkelanjutan
oleh ribuan jenis interaksi sosial baru yang muncul setiap hari barangkali akan
mencuat sebagai isu sentral dalam diskursus mengenai relasi pertolongan. Menolong
tidak lagi dapat dipahami secara harfiah. Bahkan dalam beberapa decade setelah
ini, paradigma pertolongan modern mungkin tidak lagi dapat memberi batas-batas
yang jelas antara dua hal paling bertentangan dalam pekerjaan sosial, yaitu:
menolong dan menindas.
Mari menolong
tanpa menindas…!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar