Senin, 30 Desember 2013

Perubahan Paradigma Dalam Relasi Pertolongan



Profesi pekerjaan sosial termasuk salah satu profesi pertolongan yang paling tua di antara profesi-profesi lainnya. Pekerjaan sosial berusaha mengembalikan keberfungsian klien melalui berbagai macam cara. Umumnya, cara-cara tersebut dilandasi oleh nilai-nilai tertentu yang tujuannya mempromosikan keadilan sosial dan kesetaraan universal. Keberfungsian klien sendiri bukanlah satu hal yang mudah dinilai meski terdapat sederet indicator yang lazim digunakan pekerja sosial untuk urusan ini. Keberfungsian dalam kaitannya dengan relasi pertolongan lebih pelik dari yang dibayangkan para pekerja sosial selama ini. Berfungsi tidak hanya menyangkut peran dan fungsi individu dalam lingkungan sosial mereka. Lebih jauh, perbincangan mengenai keberfungsian menyangkut kualitas keseluruhan dari individu dilihat dari manfaat yang diberikannya bagi masyarakat atau lingkungan sosialnya.

Memahami dinamika keberfungsian klien, dengan begitu, tidak dapat dilepaskan dari upaya memahami klien tersebut secara menyeluruh, mencakup kebudayaan, nilai-nilai yang dianut dan harapan-harapan interpersonalnya. Apa yang ditunjukkan dan disampaikan klien ketika berhadapan dengan pekerja sosial pada dasarnya adalah representasi dari dimensi sosial-budaya yang membangun klien itu sendiri. Memahami dinamikan sosial-budaya setiap klien tentu saja tidak mudah, hal ini karena pekerja sosial menangani tidak hanya beberapa orang klien, melainkan klien dalam jumlah yang tidak memungkinkan untuk dinilai secara interpersonal.

Klien mesti ditempatkan dalam posisinya sebagai produk sosial lingkungan mereka. Klien tidak mungkin berasal dari lingkungan yang bukan lingkungan manusia, karenanya, memperhatikan aspek kemanusiaan dalam praktik pekerjaan sosial bukanlah satu hal yang perlu diperdebatkan lebih lanjut. Sayangnya, pekerja sosial seringkali menggunakan kacamata budaya mereka sendiri dalam memandang masalah-masalah aktual yang dihadapi klien mereka. Jenis tindakan yang disebutkan terakhir cukup berbahaya bagi proses mengembalikan keberfungsian klien. Klien dan pekerja sosial, sebagai sesame produk sosial, dituntut untuk dapat mencapai titik temu dalam memandang dan menilai situasi permasalahan. Namun, tentu saja porsi lebih besar ditanggung oleh pekerja sosial.

Pertolongan yang dimaksud oleh pekerja sosial bisa saja dianggap bukan sebagai bentuk pertolongan oleh klien mereka. Jika klien tidak segera mengungkapkan hal tersebut, bukan berarti bahwa klien setuju dengan bentuk pertolongan yang diberikan oleh pekerja sosial. Sangat mungkin bila pilihan klien untuk tidak mengungkapkan hal tersebut dipengaruhi corak dari bentuk pertolongan yang diberikan oleh pekerja sosial itu sendiri, yang menyaratkan adanya sebentuk kepatuhan dari klien mereka. Dalam perkembangannya, perangkat kepatuhan itu sendiri, yang cenderung dipaksakan oleh pekerja sosial dengan cara-cara kurang lebih tidak sah, dianggap sebagai suatu hal yang normal. Pada akhirnya, tingkat kepatuhan klien dalam kaitannya dengan pemberian layanan-layanan sosial tertentu menjadi identik dengan –dan dianggap sebagai indicator- keberhasilan dalam proses pertolongan.

Praktik pekerjaan sosial di masa-masa mendatang tampaknya akan sangat berbeda dengan praktik-praktik yang kini dianggap sebagai praktik pekerjaan sosial yang ideal. Di masa depan, resiko dan ketidakpastian yang diproduksi secara berkelanjutan oleh ribuan jenis interaksi sosial baru yang muncul setiap hari barangkali akan mencuat sebagai isu sentral dalam diskursus mengenai relasi pertolongan. Menolong tidak lagi dapat dipahami secara harfiah. Bahkan dalam beberapa decade setelah ini, paradigma pertolongan modern mungkin tidak lagi dapat memberi batas-batas yang jelas antara dua hal paling bertentangan dalam pekerjaan sosial, yaitu: menolong dan menindas.

Mari menolong tanpa menindas…!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar