Selasa, 31 Desember 2013

Menulis Kesulitan Dengan Mudah Dan Lancar

Aku sedang tidak mood untuk menulis. Rasa-rasanya, sekarang ini menulis itu seperti sebuah tugas besar yang menakutkan dan menyeramkan. Menulis, setidaknya untuk saat ini, terasa sangat tidak menyenangkan. Padahal jika dipikir-pikir, menulis bagi seorang mahasiswa pascasarjana adalah sebuah kewajiban akademis. Mempertahankan pemikiran tidak akan cukup dengan bercuap-cuap di mimbar diskusi, lebih dari itu, ide sebagai anak pikiran harus disebarluaskan dengan tulisan. Menulis sebagai sesuatu yang pada beberapa tahun yang lalu masih diremehkan, kini menjadi komoditas yang tidak hanya dijual olaeh para 'ahli'. Traffic pertukaran gagasan di masa sekarang sudah jauh lebih sering -dan intensif- dibandingkan beberapa dekade lalu.

Beberapa penulis dengan bangga berkata bahwa tulisan mereka adalah anak turunan dari pikiran cemerlang mereka dalam mengabstraksi realitas. Realitas yang sampai kini belum jelas juntrungnya. Begitulah dunia di era postmodern; kacau, tidak jelas, buram dan penuh ketidakpastian. Bukankah seorang akademisi harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial mereka? Bukankah, bahkan calon akademisi sekalipun harus mampu mengorbankan hal-hal tidak ilmiah yang ia inginkan demi mencapai tingkat kepribadian yang ideal dari sudut pandang ilmiah.

Bagaimana memaknai kessulitan dalam menulis? Terutama pada masa-masa transisional seperti sekarang ini, di mana kesulitan sudah tidak begitu berbeda dengan kesenangan. Pemikiran-pemikiran awal tentang istilah 'sulit' menyebut bahwa 'sulit' adalah satu hal yang selalu dijauhi manusia. Namun pemikiran-pemikiran awal tersebut tampaknya tidak mampu menjelaskan mengapa peribahasa "hidup adalah serangkaian masalah" bisa begitu populernya -dan kerap dianggap sebagai kalimat yang memotivasi- ditengah masyarakat yang enggan bergelut dengan sesuatu yang sulit-sulit.

Menghadapi pertanyaan intrapersonal jenis ini, biasanya akademisi amatir hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak tahu, atau mungkin lebih tepatnya tidak memiliki keahlian khusus menjadikan perkara menulis yang awalnya susah menjadi sangat menyusahkan. Perbedaan antara mereka yang mengetahui dengan benar apa bidang keahlian mereka dengan yang tidak seperti perbedaan antara hidup dan mati. Sejauh itulah keahlian memisahkan dua takdir manusia. Lantas, apakah tidak ada jalan lain selain menulis? Jawaban pastinya adalah: TIDAK ADA.

Di sisi lain, kemudahan, seringkali dikait-kaitkan dengan cara yang amat tidak sah dengan agama, atau lebih tepatnya ajaran agama. Gagasan tentang kemudahan nyaris analog dengan bantuan Tuhan bagi manusia yang rajin memuja-Nya. Padahal, tidaklah sesederhana itu masalahnya. Kemudahaan tidak lain adalah sebuah kondisi yang kongruen dengan ekspektasi seseorang, tidak lebih. Kemudahan bisa di dapat melalui banyak jalan, dan agama adalah salah satu dari beragam cara yang mungkin ditempuh.

Balik lagi ke masalah menulis. Menulis itu seperti sesuatu yang tidak disenangi tapi harus dilakukan. Tidak hanya sesekali waktu, namun sepanjang waktu. Seorang akademisi harus mau dan mampu menulis dengan baik dan benar. Apa yang ditulis? Apa saja selama itu relevan dengan bidang kajian yang menjadi keahlian si akademisi. Teka-teki menulis ini pada ujungnya akan bersandar pada satu pertanyaan mendasar sekali, yaitu: apa bidang keahlian seorang akademisi -yang mengaku dapat menulis dengan baik?

Barangkali, kesimpulan dari tulisan ini adalah: Menulis kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama proses penulisan dengan mudah dan lancar adalah kualitas pertama yang harus dimiliki seorang akademisi yang telah memilih jalan ilmu pengetahuan sebagai pilihan hidup mereka.

1 komentar:

  1. beiihhh... mantap... akhirnya sang pena sejati sudah mau mengeluarkan tinta emasnya untuk memberikan sedikit keteduhan bagi orang lain.

    BalasHapus